Pengertian, Biota, Adaptasi Zona Interstitial



BAB  I
PENDAHULUAN

Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu unit fungsional. Komponen-komponen ini secara fungsional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari komponen-komponen tersebut (misalnya perubahan nilai parameter fisika-kimia perairan), maka akan menyebabkan perubahan pada komponen lainnya (misalnya perubahan kualitatif dan kuantitatif organismenya). Perubahan ini tentunya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem dapat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. Oleh sebab itu, untuk menjamin sumberdaya hayatinya, maka hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung di antara komponen-komponen sumberdaya hayati yang menyusun suatu sistem, perlu diperhatikan (Zulkifli, 2010).

Dari seluruh komponen biotik yang ada, maka salah satu di antaranya yang menarik untuk dikaji adalah organisme interstisial, yaitu suatu kelompok fauna bentik yang hidup dalam ruang interstisial yaitu ruang di antara partikel-partikel sedimen atau di sela-sela butiran sedimen (Higgins & Thiel 1988; Funch et al. 2002; Linhart et al. 2002; Bartolomaeus & Schmidt-Rhaesa 2006). Karena fauna ini hidupnya secara interstisial, maka di dalam makalah ini disebut sebagai organisme interstisial (Zulkifli, 2010).

Organisme interstisial merupakan biota laut yang masih sedikit dikenal oleh sebagian orang bila dibandingkan dengan biota laut lainnya, seperti ikan, kepiting, penyu, siput, cumi-cumi dan udang. Hal ini disebabkan oleh ukuran tubuhnya yang sangat kecil dan posisinya yang tersembunyi di dalam sedimen serta tidak memberikan manfaat langsung bagi manusia (manfaat ekonomi). Umumnya organisme interstisial ini baru dikenal oleh para ilmuwan yang menekuni bidang biologi dan ekologi laut. Selain organisme makrofauna besar yang mendiami pantai pasir, masih ada dunia lain yang hadir disini yaitu organisme yang mendiami ruang yang sangat sempit (mikrospace) diantara butir – butir yang berdekatan. Inilah yang disebut organisme interstitial. Keberadaan asosiasi organisme yang khas ini baru disadari oleh ilmuwan biologi pada abad ke-20, pada saat ilmuwan eropa mulai menyelidiki lingkungan ini. Sejak itu, banyak ilmuwan di seluruh dunia melakukan kajian di daerah yang khas ini. Pengkajian awal terutama tentang taksonomi, untuk menentukan organisme apa saja yang ditemukan dan menamakannya. Selanjutnya, pengkajian ekologi telah dimulai, yang memberikan pengertian yang lebih baik kepada kita mengenai kondisi khas tempat hidup binatang-binatang ini (Nybakken, 1988).

Suatu kumpulan fauna dan flora interstitial telah dijumpai dalam substrat pasir daerah intertidal dan subtidal di seluruh dunia, baik di air tawar maupun di air laut. Kelompok interstitial utama telah ditemukan oleh Coull et al. (1977) sampai di kedalaman 5000m. Pengkajian asosiasi ini, bagaimanapun, tidak merata penyebarannya. Fauna interstitial lautan lebih dikenal daripada yang di air tawar, dan organisme serta asosiasi dari laut eropa merupakan yang paling dikenal dibandingkan berbagai daerah geografik lainnya. Fauna interstitial pantai Pasifik Amerika Utara boleh dikatakan belum dikenal dan belum dikaji, sedangkan pantai atlantik amerika utara telah menjadi tempat banyak pengkajian (Nybakken, 1988).

Kondisi yang mempengaruhi fauna interstitial agak berbeda dengan kondisi yang mempengaruhi makrofauna di daerah yang sama. Mungkin faktor paling penting, yang menentukan keberadaan, ketiadaan, dan tipe organisme interstitial adalah ukuran butiran. Ukuran butiran sangat penting dalam menentukan besarnya ruangan interstitial yang tersedia untuk tempat tinggal.  Makin besar ukuran butiran, makin besar volume ruangan interstitial dan oleh sebab itu makin besar pula organisme yang dapat mendiami tempat itu. Sebaliknya, makin kecil ukuran butiran, makin kecil pula ruangan yang tersedia dan dengan demikian makin kecil organisme yang dapat mendiaminya. Oleh karena itu ukuran butiran boleh bertindak sebagai suatu pembatas yang jelas terhadap penyebaran organisme psammon (Zulkifli, 2010).

Meskipun secara ekonomi tidak memberikan manfaat langsung bagi manusia, namun secara ekologis organisme interstisial ini memiliki peranan yang sangat penting dalam ekosistem laut. Peranan ekologis yang diberikan oleh organisme interstisial ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, ikut menentukan keberadaan biota laut lainnya, seperti ikan, kepiting, penyu, siput, cumi-cumi dan udang yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi bagi manusia. Peranan penting dari meiofauna interstisial ini adalah: 1) sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus materi dalam ekosistem laut; 2) sebagai penyedia makanan bagi berbagai tingkat trofik yang lebih tinggi; 3) berperan aktif dalam meningkatkan penghancuran bahan organik (dekomposisi aerob), terutama dalam proses biodegradasi sisa-sisa tumbuhan yang nantinya berlanjut ke proses mineralisasi oleh mikroba; 4) meningkatkan regenerasi nutrien di lingkungan bentik; 5) berperan dalam menyuburkan dasar perairan dan meningkatkan produktivitas bentik; 6) sebagai bagian dari komunitas bentos yang dapat menyumbangkan pengaruh interaktif kepada biota laut lainnya melalui kompetisi, simbiosis, predasi dan asosiasi; 7) sebagai bioindikator dalam menilai kondisi lingkungan laut (bioindikator pencemaran atau pengkayaan bahan organik) (Lee et al. 2000; Mirto et al. 2000; Raffaelli 2000; Beier & Traunspurger 2001; Smith et al. 2001; Mistri et al. 2002; Vezzulli et al. 2003; Buat 2006). Dari berbagai peranan meiofauna interstisial seperti yang disebutkan di atas, maka sangat jelas pentingnya organisme ini dalam menunjang produktivitas perairan (Zulkifli, 2010).

BAB II
LINGKUNGAN INTERSTITIAL

  2.1 Zona interstitial dan kondisi lingkungan interstitial
Zona interstitial yaitu ruang di antara partikel-partikel sedimen atau di sela-sela butiran sedimen (Higgins & Thiel 1988; Funch et al. 2002; Linhart et al. 2002; Bartolomaeus & Schmidt-Rhaesa 2006).

Faktor paling penting yang mempengaruhi kehidupan dan tipe organisme interstitial adalah ukuran butiran. Ukuran butiran menentukan besarnya ruangan untuk tempat  tinggal organisme. Makin besar ukuran butiran, makin besar volume ruang interstitial dan oleh sebab itu makin besar pula organisme interstitial yang dapat mendiami tempat itu. Sebaliknya, semakin kecil ukuran butiran, makin kecil pula ruangan yang tersedia, makin kecil pula organisme yang mendiami tempat tersebut. Ukuran butiran juga penting karena menentukan kemampuan suatu tepian dalam penahanan dan sirkulasi air. Organisme interstitial membutuhkan air di ruang antarbutiran pasir untuk hidup. Apabila ukuran butiran terlalau kasar, daya kapiler pasir tak dapat menahan air sehingga air akan mengalir ke luar dan hanya meninggalkan suatu lapisan tipis yang menyelimuti butiran. Sebaliknya, ukuran butiran yang halus mampu menahan cukup banyak air di ruang antar butiran.

Jumlah meiofauna yang maksimum ditemukan pada diameter butiran pasir antara 175-275 Ī¼m (Nybakken & Bertness 2005). Menurut Giere (1993), ukuran butir sedimen yang kritis bagi kehadiran meiofauna adalah sekitar 200 Ī¼m, sedangkan batas bawah ukuran butir sedimen yang masih dapat dihuni oleh meiofauna adalah 150 Ī¼m. Fauna interstisial cenderung menghilang kalau rata-rata diameter ukuran butir di bawah 0.1 mm (Nybakken & Bertness 2005). Sedimen yang berukuran partikel <125 Ī¼m didominasi oleh organisme meiofauna penggali, sedangkan sedimen dengan ukuran butir >125 Ī¼m didominasi oleh bentuk-bentuk yang berpindah dalam celah-celah sedimen (Higgins & Thiel 1988; Coull 1999; Funch et al. 2002). Biasanya di sedimen pasir berukuran kasar jumlah genusnya tinggi, tetapi kelimpahan individunya rendah. Di sedimen pasir yang berukuran sedang, keragaman dan kelimpahan meiofauna cukup tinggi (Giere 1993).

Bahan organik yang disuplai ke sedimen laut berasal dari dua sumber utama, yaitu berasal dari sistem sedimen itu sendiri (autochthonous) dan berasal dari luar sistem sedimen (allochthonous) yang disuplai dari ekosistem lain. Keberadaan kandungan bahan organik berhubungan dengan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen halus, persentase kandungan bahan organik lebih tinggi daripada sedimen yang kasar (Kƶster & Meyer-Reil 2001). Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Pada sedimen kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah, karena partikel yang halus tidak mengendap. Akumulasi dan proses pengendapan bahan organik di sedimen berhubungan dengan proses percampuran (mixing process) dari partikel sedimen tersebut pada saat penenggelaman. Pada kondisi sedimen yang banyak menerima masukan bahan organik dapat menyebabkan berkurangnya stabilitas sedimen. Hal ini disebabkan oleh pertemuan antara bahan organik dengan lumpur dapat merusak matriks sedimen sehingga stabilitas sedimen berkurang (Ɠlafsson & Ndaro 1997; Rosa & Bemvenuti 2005).

Sirkulasi air yang terjadi melalui pori-pori di dalam sedimen penting karena gerakan air ini mempengaruhi persediaan oksigen. Sirkulasi yang paling baik terjadi pada sedimen yang butirannya kasar dan berkurang pada pantai yang butirannya halus. Apabila butirannya sangat halus, misalnya pada pantai berlumpur, sirkulasi air sama sekali terhenti dan akibatnya terbentuk lapisan anaerob pada sedimen. Kondisi ini terjadi karena ukuran partikel yang sangat halus disertai dengan sudut dasar sedimen yang amat datar menyebabkan air di dalam sedimen tidak mengalir keluar dan tertahan di dalam substrat. Lamanya waktu penyimpanan air, disertai dengan amat jarangnya sirkulasi dan adanya populasi bakteri internal yang tinggi menyebabkan turunnya kadar oksigen di dalam sedimen.

Kondisi mineral butiran juga penting bagi penentuan komposisi organisme interstitial. Organism yang hidup dipasir silica berbeda dengan organisme yang hidup di pasir karbonat. Cahaya jarang sekali menembus dibawah 5-15 mm ke dalam pantai pasir. Ini berarti bahwa tanaman mikroskopis terbatas hanya pada lapisan permukaan. Tetapi, diatom telah dijumpai pada kedalaman jauh dibawah ini, menimbulkan pertanyaaan bagaimana organisme ini dapat mempertahankan hidupnya.

Suhu juga menentukan keberadaan dan distribusi organisme interstitial. di lapisan permukaan, suhu dapat berubah secara mencolok, bergantung pada suhu udara, pengaruh angin dan hujan, jumlah cahaya matahari yang menyinari permukaan, dan suhu air laut. Suhu sedimen merupakan faktor yang menentukan keberadaan dan kelimpahan meiofauna. Perubahan suhu dapat menyebabkan perubahan kelimpahan meiofauna. Populasi meiofauna menurun secara gradual dengan meningkatnya suhu pada permukaan sedimen lumpur. Suhu berpengaruh terhadap waktu generasi meiofauna. Suhu yang optimum untuk perkembangan meiofauna adalah 20–30ĀŗC. Pada kisaran suhu yang tinggi sekitar 33–50ĀŗC, menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan daur hidup, dan penurunan suhu menyebabkan perpanjangan waktu pergantian generasi. Faktor suhu ini berhubungan dengan musim. Kelimpahan meiofauna berfluktuasi secara musiman di daerah subtropis, di mana kelimpahan tertinggi umumnya terjadi pada saat kondisi terhangat dalam setahun (Heip et al. 1985).

Kisaran suhu yang ekstrim dapat terjadi di lapisan sedimen bagian atas pada waktu siang dan malam, sedangkan kisaran suhu yang sempit terjadi di sedimen zona subtidal dan intertidal di bawah kedalaman 10-15 cm (Nybakken & Bertness 2005). Lapisan permukaan sedimen bertindak sebagai insulator (penyekat) terhadap lapisan bawah, secara efektif memperkecil perubahan suhu yang signifikan. Di lapisan permukaan sedimen, suhu mungkin berubah secara nyata, bergantung pada suhu udara, pengaruh angin dan hujan, dan suhu air laut (Silence et al. 1993; Nybakken & Bertness 2005). Di zona sublitoral dan zona yang lebih dalam lainnya, pengaruh suhu terhadap sebaran meiofauna dapat diabaikan karena di habitat tersebut suhunya relatif konstan (Giere 1993).

Secara alami, meiofauna dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu. Meiofauna dapat dijumpai di berbagai daerah di belahan bumi mulai dari perairan kutub, subtropis, tropis, hydrothermal vent yang panas hingga tepian supralitoral yang suhunya sangat berfluktuasi. Hal ini mengindikasikan bahwa meiofauna mampu beradaptasi pada berbagai tipe suhu di permukaan bumi (Giere 1993).

Perubahan salinitas terbatas pada lapisan atas pantai karena lapisan bawah melalui daya kapiler mampu mempertahankan tingkat air asin yang lebih tinggi. Karena air tawar lebih ringan daripada air asin menyebabkan air tawar tak dapat menembus ke bawah titik dimana air laut ditahan oleh daya kapiler. Ini berarti hanya lapisan paling atas yang mengalami perubahan salinitas (kira-kira sampai 15%).

Faktor pH sedimen memiliki peranan yang tidak begitu besar dalam kehidupan meiofauna. Hal ini disebabkan oleh nilai pH air laut yang cukup tinggi sekitar 7.5–8.8 dapat berperan sebagai penyangga (buffer) yang dapat mencegah terjadinya perubahan pH yang terlalu besar. Nilai pH dapat turun hingga 7.0 pada saat kondisi sedimen dalam keadaan anaerob dan mengandung H2S. Nilai pH ini jarang mencapai 6.0. Nilai pH sedimen dapat mencapai 9.0 ketika mikrofitobentos (diatom) di lapisan permukaan cukup melimpah dan proses fotosintesis terjadi secara intensif (Giere 1993).

Ombak yang memecah dan ombak yang bergerak mengakibatkan pasir pada lapisan atas tersuspensi kembali dan menyebakan pindahnya atau mengendapnya kembali sejumlah besar pasir dengan sempurna. Oleh karena itu, apabila patai teraduk, keseluruhan rangkaian ruangan interstitial diatur kembali dan dengan sendirinya organism berpindah.

Meiofauna taksa Gastrotricha lebih menyukai daerah yang kecepatan arusnya rendah (Schmid-Araya 1997, diacu dalam Linhart et al. 2002). Total jumlah Copepoda berkorelasi negatif terhadap kecepatan arus, namun beberapa genus mempunyai respon yang berbeda terhadap arus dan bahan organik yang terperangkap. Kepadatan Cladocera, Cyclopoda, Ostracoda dan Rotifera menurun dengan meningkatnya kecepatan arus tetapi merespon secara positif terhadap peningkatan bahan organik. Berkorelasinya Copepoda dengan bahan organik diduga disebabkan oleh penggunaan bahan organik tersebut sebagai makanan dan/atau habitat (RodrĆ­guez et al. 2001; Schmid-Araya & Schmid 2000, diacu dalam Linhart et al., 2002).

Bagi meiofauna yang tidak dapat berenang, misalnya Nematoda, dapat berpindah dari suatu lokasi ke lokasi lain karena kemampuannya untuk menuju ke permukaan sedimen. Sementara, Foraminifera yang juga tidak mempunyai organ renang, dan tubuhnya tidak dapat bertahan bila ada arus, maka keberadaannya di tempat lain disebabkan oleh adanya pengadukan sedimen oleh arus (Gooday 1988; Moodley et al. 2000).

Di habitat sedimen lunak perairan dangkal, konsumer infauna bentik sering didominasi oleh organisme pemakan deposit, termasuk meiofauna, yang sebagian besar nutrisi makanannya diambil dari pengendapan bahan organik (Rossi et al 2001). Bahan organik di sedimen termasuk ke dalamnya organisme hidup seperti bakteri dan mikroalga, dianggap sebagai salah satu makanannya, dan material mati pada tingkat degradasi yang berbeda (McIntyre et al 1996). Organisme meiofauna pemakan detritus (detritivor) mengandalkan sumber makanannya pada tingkat trofik yang berbeda dan memainkan peranan fundamental dalam transfer energi dalam jaring makanan (Snelgrove & Butman 1994; Hentschel & Jumars 1994; Valiela 1995; Rossi et al. 2001).

Gangguan biota dan perubahan lingkungan dapat menyebabkan stres bagi populasi yang ada di dalamnya. Namun, beberapa gangguan tidak akan menyebabkan stres, sementara yang lainnya akan berpindah dan menyebabkan pemusnahan biota. Sebagian besar faktor-faktor yang mempengaruhi sedimen, seperti gaya hidrodinamik (Hall 1994), aktivitas penangkapan (Thrush et al. 1995; Currie & Parry 1996) dan pengerukan (Somerfield et al. 1995), tetapi dapat juga termasuk gangguan sedimen oleh epibentik dan predator pelagis (Hall 1994).

Faktor sedimentasi juga dapat mempengaruhi kondisi habitat meiofauna. Kekeruhan yang disebabkan oleh sedimentasi dapat menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air dan mengganggu proses fotosintesis alga bentik. Akibatnya, produktivitas primer menjadi rendah dan ketersediaan oksigen di kolom air berkurang. Sedimen yang tersuspensi kembali ke kolom air dapat menyumbat permukaan alat pencernaan pemakan suspensi. Gangguan pada permukaan sedimen dapat menghambat perkembangan larva meiofauna interstisial yang menempel pada permukaan sedimen tersebut (Lindsay & Woodin 1996). Tidak stabilnya sedimen dapat menimbulkan stress dalam komunitas meiofauna. Sedimen yang diaduk kembali oleh arus yang kuat juga dapat mengubah rasio Nematoda/Copepoda (N/C) (Silence et al. 1993; De Troch et al. 2001a; Gwyther & Fairweather 2002; Arroyo et al. 2004).

2.2 Peranan organisme interstitial
Sebagai fauna interstisial, meiofauna merupakan komponen penting dalam ekosistem pantai dan laut. Di sedimen laut, meiofauna memiliki peranan ekologis yang sangat penting, yaitu: 1) sebagai penyedia makanan bagi berbagai tingkat trofik yang lebih tinggi; 2) memainkan peranan penting dalam biodegradasi bahan organik; 3) memudahkan biomineralisasi bahan organik dan meningkatkan regenerasi nutrien; 4) berperan dalam menyuburkan dasar perairan dan meningkatkan produktivitas bentik; 5) sebagai anggota komunitas bentos yang dapat menyumbangkan pengaruh interaktif kepada biota laut lainnya melalui kompetisi, simbiosis, predasi dan asosiasi; dan 6) karena sensitivitasnya yang tinggi terhadap masukan antropogenik dan bahan-bahan pencemar, membuatnya sebagai organisme yang baik sekali untuk studi pencemaran dan digunakan sebagai bioindikator dalam menilai kondisi lingkungan laut (Herman & Heip 1988; Aller & Aller 1992; Green & Montagna 1996; Montagna & Harper 1996; Gee & Somerfield 1997; Coull 1999; Lee et al. 2000; Mirto et al. 2000; Raffaelli 2000; Beier & Traunspurger 2001; Smith et al. 2001; Mistri et al. 2002; Vezzulli et al. 2003; Barnes & Hughes 2004; Stead et al. 2005; Buat 2006).

Organisme interstitial mempunyai kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi terhadap lingkungannya, sehingga jenis tertentu dari meiofauna, seperti Nematoda dan Copepoda sering digunakan sebagai indikator dalam menyatakan kelimpahan bahan organik. Perbandingan Nematoda dan Copepoda (rasio N/C) dapat digunakan sebagai alat biomonitoring pencemaran organik dalam komunitas bentik (Hodda & Nicholas 1985; Montagna & Harper 1996; Pati et al. 1999). Pengaruh utama akumulasi bahan organik adalah pengurangan kandungan oksigen dalam sedimen dan selanjutnya menstimulasi pembentukan lapisan hidrogen sulfida. Kepadatan Copepoda secara langsung berkaitan dengan faktor lingkungan, seperti kedalaman lapisan RPD (Redox Potential Discontinuity), kandungan oksigen, air interstisial (air pori sedimen), dan desikasi/pengeringan sedimen (Mirto et al. 2000).

Meiofauna interstisial selain berperan melapukkan dan menghancurkan bahan-bahan organik di dalam sedimen, juga berperan dalam menyuburkan dasar perairan dan meningkatkan produktivitas bentik. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) meiofauna interstisial memakan/menghisap apa saja yang ada di muka mulutnya, sedimen, sisa tumbuhan/binatang yang sudah lapuk, bakteri dan mikroflora bentik, yang selanjutnya dicerna dan dikeluarkan sebagai kotoran; 2) meiofauna interstisial yang bergerak secara meliang membuat lubang-lubang dengan dorongan tubuhnya di dalam lapisan sedimen, sehingga kotoran-kotorannya dapat menyuburkan lapisan tersebut, karena kotoran meiofauna interstisial merupakan hasil pencernaan yang banyak mengandung berbagai hasil persenyawaan kimiawi yang kompleks. Sisa-sisa tanaman, mikroflora bentik, mikrofauna yang mengandung zat protein, karbohidrat, lemak dengan enzim-enzim diubahnya dalam tubuh meiofauna interstisial menjadi zat-zat mineral yang bermanfaat yang terkandung dalam kotoran-kotorannya yang biasanya ditempatkan di pintu lubang/lorong-lorongnya secara bertumpukan; 3) pembuatan lubang/lorong-lorong dalam sedimen oleh meiofauna interstisial sampai jauh ke dalam sedimen, berarti meiofauna interstisial telah mengangkat bagian-bagian sedimen dari lapisan bawah ke atas. Akibatnya, bagian-bagian dari zat mineral akan ikut terangkat ke lapisan atas yang dapat memperkaya bahan-bahan mineral dalam sedimen; dan 4) lubang-lubang yang dibuat oleh meiofauna interstisial di dalam sedimen sangat membantu masuknya air, udara dan makanan ke dalam sedimen (Aljetlawi et al. 2000).

Aspek penting lainnya adalah peranan energetik yang dimainkan oleh meiofauna interstisial. Gerlach (1971) diacu dalam Coull (1988) mengatakan bahwa biomassa meiofauna sekitar seperlima dari biomassa makrofauna. Dengan demikian, rasio biomassa makrofauna/meiofauna adalah > 5:1 dimana total energi yang diperlukan makrofauna melebihi meiofauna. Biomassa makrofauna dalam sebagian sistem biasanya lebih besar dari ratio 5:1 tetapi secara ekstrem pada perairan dangkal (hamparan lumpur, estuaria) dan laut dalam, rasio biomassa makrofauna/meiofauna sekitar 1 dan dengan demikian meiofauna memainkan peranan yang lebih penting dalam energetik bentik pada sistem ini.

Kedudukan biomassa meiofauna biasanya lebih rendah daripada makrofauna, tetapi kepadatan, laju metabolik dan produksi hewan-hewan kecil secara proporsional lebih tinggi. Walaupun ukuran mereka lebih kecil, aktivitas metabolik lebih tinggi, dan laju pergantian juga tinggi, produktivitas organisme meiofauna per unit biomassa lebih besar daripada makrofauna (Webber & Thurman 1991; Nybakken & Barnes 2005). Barnes dan Hughes (2004) mengatakan bahwa produksi makrofauna bentik jarang melebihi 5% dari komponen organisme dan sering pertumbuhannya lambat serta mempunyai masa hidup yang lama.

Keberadaan meiofauna interstisial dalam sedimen dapat mempengaruhi karakteristik fisika dan kimia sedimen dan sebaliknya. Meiofauna interstisial dapat mempengaruhi percampuran partikel sedimen yang disebabkan oleh pergerakan hewan tersebut kesana-kemari mencari makan atau melarikan diri dari mangsa atau oleh pengambilan partikel selama makan dan pemindahan partikel ke permukaan sedimen selama pembuangan sisa dari hewan tersebut (Hines 1991; Aller & Aller 1992; Marinelli & Woodin 2002).

BAB III
ORGANISME INTERSTITIAL

Organisme penghuni pasir adalah organisme interstitial, yaitu binatang berukuran kecil yang hidup diantara butir-butir pasir. Hewan ini disebut juga psammon. Psammon meliputi berbagai organisme meiofauna maupun mikrofauna, seperti:
  1. Filum protozoa, diwakili oleh sejumlah besar spesies siliata,

  2. Filum platyhelminthes, diwakili oleh nematode dan cacing-cacing kecil, pipih, memanjang,

  3. invertebrata berukuran kecil seperti gastrotricha, tardigrada, dan rotifer

  4. cacing dari filum annelida yang tumbuh memanjang sesuai sekali dengan lingkungan interstitial, diwakili oleh kelas Oligochaeta, hirudenia, dan Polychaeta.

  5. Filum arthropoda terutama Crustacea yang diwakili oleh copepod dan ostrakoda

  6. Kelompok binatang yang menempel atau melekatkan diri pada butiran pasir, seperti filum bryozoa dan klas tunicata (ascidiacea),

  7. Filum echinodermata, yaitukelas asteroidean, echinoidea, ophiuroidea, crinoidea, dan holoturoidea

  8. Filum cnidaria

  9. Filum mollusca, seprti kerang-kerangan, dan siput
Terdapat 70 spesies organisme interstitial pada 50 cm2 luasan pasir, dan khusus protozoa siliata saja, mereka mendapat secara teratur sebanyak 30-50 spesies (fenchel et al. 1967). Organisme interstitial mengalami keragaman di musim yang berbeda. Ini artinya suatu spesies interstitial akan lebih banyak terdapat pada satu musim tertentu dibandingkan musim lainnya, tergantung pada kecocokan musim dengan spesies tersebut.

Komposisi organisme interstitial bervariasi baik secara vertical maupun secara horizontal. Migrasi secara vertical didorong oleh perubahan suhu dan salinitas terutama pada pantai di daerah beriklim sedang. Oleh karena itu organism yang sama sering kali dijumpai di tempat yang lebih dalam di musim dingin dan lebih dangkal di musim panas.

Kebanyakan fauna yang hidup di lumpur dan pasir adalah pemakan detritus, dan kebanyakan detritus adalah material dari tumbuhan yang secara perlahan-lahan didegradasi oleh jamur dan bakteri. Berdasarkan pada karakteristik hidupnya, meiofauna dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu (1) meiofauna yang bersifat permanen; dan (2) bersifat temporer. Meiofauna permanen adalah meiofauna sejati yang berukuran kecil sampai dewasa menghabiskan seluruh masa hidupnya di dalam ruangan antarbutiran sedimen atau sepanjang siklus hidupnya bersifat meiobentos, contohnya Nematoda, Gastrotricha, Tardigrada, Copepoda, Mystacocarida, Ciliophora, Archiannelida, Ostracoda, Rotifera, Kinorhyncha, dan Halacarida, beberapa kelompok Turbellaria, Oligochaeta, beberapa Polychaeta. Meiofauna temporer atau sementara merupakan larva makrofauna dan juvenil organisme yang baru saja menetap, contohnya Bryozoa, Hydrozoa, Gastropoda, Nemertina, Brachiopoda, Amphipoda, Aplacophora, Holothuroidea, dan Tunicata (Coull 1988; Kennish 1990; Aller & Aller 1992; Hentschel & Jumars 1994; Pati et al. 1999; Funch et al. 2002; Arroyo et al. 2004; Nybakken & Bertness 2005; Bartolomaeus & Schmidt-Rhaesa 2006).

Berdasarkan pada tipe habitatnya, meiofauna dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) meiofauna yang hidup pada substrat kasar (pasir), seperti Copepoda, Ostracoda, Gastrotricha, Turbellaria, Oligochaeta, Tardigrada dan Archiannelida; (2) meiofauna yang hidup pada substrat lunak (lumpur), seperti Nematoda, Copepoda, Foraminifera, Ostracoda dan Annelida; dan (3) meiofauna yang hidup di lapisan sedimen yang miskin oksigen dan/atau tanpa oksigen, seperti Nematoda, Turbellaria, Ciliata, Rotifera, Gastrotricha, Gnathostomulida dan Zooflagellata (Mann 2000).

Berdasarkan morfologi dan cara makannya, meiofauna dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) meiofauna pemakan deposit yang selektif (selective deposit feeders) dengan bentuk morfologi mulut yang sempit; (2) meiofauna pemakan deposit yang tidak selektif (non-selective deposit feeders) dengan bentuk morfologi mulut yang lebar; (3) meiofauna pemakan alga (herbivorous feeders); dan (4) meiofauna omnivora/predator (Heip et al. 1985; Gwyther & Fairweather 2002). Gwyther dan Fairweather (2002) juga mengelompokkan meiofauna ke dalam deposit feeders, epigrowth feeders, omnivores/predators. Gwyther (2003) mengelompokkan meiofauna ke dalam bacteriovores, non-selective deposit feeders, epigrowth feeders, omnivores/predators.

Kehidupan meiofauna sangat dipengaruhi oleh karakteristik sedimen. Berdasarkan pada hal ini, maka meiofauna dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) meiofauna penggali liang di dalam substrat lumpur, dan (2) meiofauna penghuni ruang interstisial yang hidupnya menetap di lapisan sedimen. Meiofauna yang termasuk kelompok penggali liang menembus sedimen dengan memindahkan partikel dalam pergerakannya dan bentuk tubuhnya cenderung lurus memanjang (streamline) sehingga memudahkan penggalian.

A. Filum protozoa, diwakili oleh sejumlah besar spesies siliata
Protozoa merupakan hewan bersel tunggal yang berukuran mikroskopis dan bersifat eukariotik. berperan penting sebagai produsen dan dekomposer dalam rantai makanan. Reproduksi pada protozoa dapat dilakukan secara seksual maupun aseksual yang meliputi pembelahan biner (blnary lission), pembelahan jamak (multiple fission). pertunasan (budding), dan plasmotomi.

B. Filum platyhelminthes, diwakili oleh nematoda dan cacing-cacing kecil, pipih, memanjang
Nematoda termasuk ke dalam binatang yang berlimpah-ruah terdapat di alam. Mereka terdapat  dalam jumlah yang besar pada zona interstitial di dasar sediment. Nematoda interstitial merupakan nematoda yang hidup pada celah-celah substrat, dimana dalam kehidupan dan keberadaan jenisnya sangat dipengaruhi oleh substrat tempatnya hidup (zona interstitial), sehingga sangat rentan terhadap perubahan parameter-parameter lingkungan tempat tinggalnya. Nematoda interstitial dapat dijadikan sebagai bioindikator bagi ketidakseimbangan lingkungan.
Ciri-ciri nematoda:
  • organisme ini pada umumnya memanjang,
  • simetris bilateral dengan ujung meruncing
  • organisme ini dapat menyusup, ukuran yang ramping memungkinkan nematoda untuk melewati butiran pasir dengan gerakan yang dihasilkan oleh cambukan dan gelombang yang dihasilkan oleh gerakannya.
  • Kulitnya berkolagen tebal dan komplek yang terdiri atas beberapa lapisan. Kulitnya mengalami pergantian empat kali selama hidupnya. Kulit jangat nematoda ditumbuhi bulu-bulu, tidak sama dengan eksoskeleton dari arthropoda (Anonim, 2005).
Lingkungan tempat hidup nematoda
Karena tempat hidupnya di lingkungan substrat dan berpasir, nematode termasuk ke dalam golongan hewan bentos. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan nematoda interstitial sebagai hewan bentos adalah :

a. Cahaya dan suhu
Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangbiakan organisme perairan (Ardi, 2002).

Yusuf (1994) menyatakan bahwa suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3, dan NH3N terhadap hewan akuatik, serta dapat mempercepat kegiatan metabolisme hewan akuatik. Sumber utama senyawa ini berasal dari sampah dan limbah yang mengandung bahan organik protein.

b. Oksigen
Setiap spesies nematoda interstitial mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Spesies yang mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen penyebarannya luas dan spesies yang mempunyai kisaran toleransi sempit hanya terdapat di tempat-tempat tertentu saja (Ardi, 2002).

c. pH
Fluktuasi nilai pH akan sangat berpengaruh bagi hewan bentos (termasuk nematoda) terutama pada substrat dekat permukaan dan aliran air. Penurunan nilai pH sebanyak 0,4 sampai 0,5 saja dapat menyebabkan kehidupan hewan bentos terancam, kulit menipis, ketahanan terhadap benturan fisik substrat berpasir menurun, dan dapat menimbulkan kematian (Hutchings, 2000).

d. Tipe dan kandungan organik substrat
Kehadiran spesies dalam suatu komunitas nematoda interstitial didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan nematoda tersebut karena tipe substrat juga ikut berpengaruh (Welch, 1980; Lowe and Thompson, 1997). Tipe substrat dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang dan kelandaian (slope) pantai. Menurut Sumich (1992), Nybakken (1997), dan Barnes dan Hughes (1999) substrat daerah pesisir terdiri dari bermacam-macam tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir, dan berbatu. Daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah memiliki subtrat yang cenderung berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah, sedangkan pada daerah pesisir yang mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang curam, substrat cenderung berpasir sampai berbatu. Substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat (termasuk nematoda interstitial).

Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap bagi organisme karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel substrat. Nematoda interstitial sebagai meiofauna (berukuran 0,1 – 1 mm) merupakan kelompok organisme yang dapat hidup secara ideal di antara butiran pasir dalam ruang interaksi (Ardi, 2002).

e. Salinitas
Faktor fisika-kimia lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberadaan nematoda interstitial di perairan pesisir adalah salinitas dan keterbukaan wilayah pesisir selama pasang surut. Permukaan substrat dasar yang menjadi habitat hidup nematoda interstitial mengalami kering pada saat pasang turun. Hal ini disebabkan adanya penguapan yang mengakibatkan terjadi peningkatan suhu dan salinitas yang cepat bahkan dapat mencapai batas letal organisme. Air tawar yang mengalir masuk ketika hujan deras juga dapat menyebabkan penurunan salinitas yang mendadak (Ardi, 2002).

f. Buangan limbah
Buangan limbah, baik yang mengandung senyawa-senyawa beracun (toksik) maupun logam berat, merupakan faktor yang mempengaruhi keberadaan nematoda interstitial di perairan pesisir. Bahan-bahan ini berasal dari daerah aliran sungai maupun areal pemukiman di pinggiran pantai serta kawasan industri yang membuang limbah ke laut (Ardi, 2002).

Eisherth (1990) mengelompokkan empat kategori limbah yang dapat mencemari wilayah pesisir, yaitu :
  1. Pencemaran limbah industri (industrial pollution) seperti industri pulp, kertas, pengolahan makanan dan industri farmasi-kimia

  2. Pencemaran sampah atau limbah domestik (sewage pollution) yang umumnya mengandung bahan organik.

  3. Pencemaran karena sedimentasi (sedimentation pollution) akibat adanya erosi di daerah hulu sungai.

  4. Pencemaran oleh aktifitas pertanian (agriculture pollution) yakni dengan adanya penggunaan pestisida.
Kehidupan nematoda interstitial sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat di lingkungannya. Menurut Giere (1993), faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi nematoda interstitial dibagi menjadi faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik meliputi struktur dan partikel sedimen, agitasi sedimen, permeabelitas air, komposisi dan saturasi air interstitial, karakteristik fisika-kimia, suhu, salinitas, derajat keasaman, dan polutan. Faktor biotik meliputi kandungan organik tanah, komposisi partikulat organik, mukus dan sekresi eksopolimer, detritus dan bakteria, dan vegetasi.

Peranan nematoda interstitial dalam ekosistem
Nematoda interstitial memiliki peranan yang sangat penting bagi lingkungan, yaitu sebagai pengurai sisa bahan organik, sebagai makan meiofauna lain, sebagai bahan makanan tingkat trofik yang lebih tinggi, dan memberikan indikator sensitif terhadap perubahan lingkungan (Anonim, 2006). Nematoda dapat dijadikan bioindikator terhadap perubahan lingkungan didasarkan pada pola hidupnya yang sangat bergantung pada substrat tempat tinggalnya (zona interstitial).

Giere (1993) menyatakan bahwa pada zona interstitial, limbah akan terakumulasi dalam jumlah yang tinggi pada sedimen akibat aliran air. Limbah yang masuk ke sedimen akan dilepaskan ke massa air secara perlahan sehingga dapat mengakibatkan penumpukan limbah. Kegiatan pembukaan lahan juga akan mengubah struktur dan tekstur substrat sehingga dapat mempengaruhi aliran air dan sirkulasi oksigen. Rentannya nematoda interstitial terhadap kerusakan lingkungan merupakan alasan yang tepat untuk menjadikan organisme ini sebagai bioindikator.

C. Invertebrata berukuran kecil seperti gastrotricha, tardigrada, dan rotifer
Rotifer

Mereka kecil, agak sedikit besar dibandingkan protozoa, mereka sangat kecil hingga tidak dapat dilihat tanpa mikroskop. Panjang mereka sekitar 0.1 sampai 1 mm. Di kebanyakan hewan, pertumbuhan terjadi dengan penambahan sel. Namun, hal ini tidak terjadi pada rotifera. Sel mereka hanya membesar,sehingga jumlah sel mereka relatif konstan. Walaupun ukuran mereka seperti itu,namun mereka memiliki susunan anatomi yang komplek. Tubuh terbagi menjadi tiga bagian,yaitu kepala,badan dan kaki. Pada bagian kepala terdapat korona yang memiliki silia.

Silia tersusun secara melingkar dan bergerak secara beraturan, dan hal ini membentuk seperti halnya sebuah roda. Hal inilah yang menyebabkan nama dari hewan ini adalah rotifera. Tubuh dilindungi oleh bahan keras yang disebut lorika. Kaki pada rotifer memiliki jari kaki yang menyebabkan rotifer dapat menempelkan dirinya pada objek seperti tumbuhan. Beberapa spesies dapat mengeluarkan bahan perekat untuk menjaga mereka menempel pada suatu tempat.

Rotifera biasanya transparan, tetapi dapat juga terlihat hijau, cokelat, merah atau orange yang tergantung dari sistem pecernaannya. Meskipun mereka kecil,mereka memiliki organ seperti mastax yang berfungsi untuk menggiling makanan, sebuah tekak dan kerongkongan,perot, organ reproduksi,anus dan kandung kemih.

Mereka juga memiliki sistem syaraf yang terdiri dari syaraf-syaraf yng menyampaikan ke organ sensori dan daerah lain pada tubuh.Syaraf mengirimkan pesan ke dan dari otak, yang terdiri dari banyak sel yang disebut ganglia. Organ sensori terdiri atas bulu pada korona,antena dan satu atau dua mata yang mengandung beberapa fotoreseptor. Rotifer biasanya ditemukan di air tawar. Meskipun begitu, beberapaspesies ada yang hidup di laut,atau bahkan parasit. Kebanyakan menghabiskan hidupnya dengan soliter tetapi ada beberapa yang hidup koloni.Mereka berpindah dengan merngkak atau berenang, tetapi tidak pernah melakukan keduanya secara bersamaan, hidup sesil berlabuh pada suatu termpat. Reproduksi berbeda-beda. Kebanyakan jantan tidak pernah ditemukan bahkan dianggap tidak ada. Ini dikarenakan banyak spesies yang melakukan reproduksi dengan cara parthenogenesis.Parthogenesis adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan unfertilized telur menjadi matang organisme.

Ciri-ciri rotifer :
  • Merupakan binatang kosmopolitan.
  • Dikenal sebagai wheel animacules.
  • Ukuran antara 50Āµm - 2000Āµm.
  • Hidup soliter,koloni dan sesil.
  • Simetri bilateral.
  • Memakan beraneka ragam mikroalga .
  • Terdapat lorika yaitu kulit luar yang keras dan menutupi tubuh. Lorika inilah yang membuat rotifera mempunyai tubuh yang jelas.
Reproduksi rotifer :
  • Reproduksi dioecious
    - Individu jantan lebih kecil dari individu betina
    - Kopulasi dengan hypodermic imphregnation, terdapat dua macam sperma :
    1. Type pertama berfungsi dalam pembuahan
    2. Type kedua berbentuk jarum berfungsi membantu sperma type pertama menembus dinding tubuh betina

  • Reproduksi parthenogenesis
D. Cacing dari filum annelida yang tumbuh memanjang sesuai sekali dengan lingkungan interstitial, diwakili oleh kelas Oligochaeta, hirudenia, dan Polychaeta.

Annelida (dalam bahasa latin, annulus = cincin) atau cacing gelang adalah kelompok cacing dengan tubuh bersegmen. Berbeda dengan Platyhelminthes dan Nemathelminthes, Annelida merupakan hewan tripoblastik yang sudah memiliki rongga tubuh sejati (hewan selomata).Namun Annelida merupakan hewan yang struktur tubuhnya paling sederhana.

Ciri tubuh
  • Ukuran dan bentuk tubuhAnnelida memiliki panjang tubuh sekitar 1 mm hingga 3 m. Contoh annelida yang panjangnya 3 m adalah cacing tanah Australia. Bentuk tubuhnya simetris bilateral dan bersegmen menyerupai cincin.
  • Struktur dan fungsi tubuhAnnelida memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya. Antara satu segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa. Pembuluh darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen dengan segmen lainnya saling berhubungan menembus septa. Rongga tubuh Annelida berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot. Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal). Sistem pencernaan annelida sudah lengkap, terdiri dari mulut, faring, esofagus (kerongkongan), usus, dan anus.Cacing ini sudah memiliki pembuluh darah sehingga memiliki sistem peredaran darah tertutup. Darahnya mengandung hemoglobin, sehingga berwarna merah.Pembuluh darah yang melingkari esofagus berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Sistem saraf annelida adalah sistem saraf tangga tali.Ganglia otak terletak di depan faring pada anterior.Ekskresi dilakukan oleh organ ekskresi yang terdiri dari nefridia, nefrostom, dan nefrotor.Nefridia ( tunggal – nefridium ) merupaka organ ekskresi yang terdiri dari saluran. Nefrostom merupakan corong bersilia dalam tubuh.Nefrotor merupaka npori permukaan tubuh tempat kotoran keluar. Terdapat sepasang organ ekskresi tiap segmen tubuhnya.
  • Cara hidup dan habitatSebagian besar annelida hidup dengan bebas dan ada sebagian yang parasit dengan menempel pada vertebrata, termasuk manusia.Habitat annelida umumnya berada di dasar laut dan perairan tawar, dan juga ada yang segaian hidup di tanah atau tempat-tempat lembap.Annelida hidup diberbagai tempat dengan membuat liang sendiri.

  • ReproduksiAnnelida umumnya bereproduksi secara seksual dengan pembantukan gamet. Namun ada juga yang bereproduksi secara fregmentasi, yang kemudian beregenerasi. Organ seksual annelida ada yang menjadi satu dengan individu (hermafrodit) dan ada yang terpisah pada individu lain (gonokoris).
Polychaeta
Polychaeta (dalam bahasa yunani, poly = banyak, chaetae = rambut kaku) merupakan annelida berambut banyak. Tubuh Polychaeta dibedakan menjadi daerah kepala (prostomium) dengan mata, antena, dan sensor palpus. Polychaeta memiliki sepasang struktur seperti dayung yang disebut parapodia (tunggal = parapodium) pada setiap segmen tubuhnya. Fungsi parapodia adalah sebagai alat gerak dan mengandung pembuluh darah halus sehingga dapat berfungsi juga seperti insang untuk bernapas. Setiap parapodium memiliki rambut kaku yang disebut seta yang tersusun dari kitin. Contoh Polychaeta yang sesil adalah cacing kipas (Sabellastarte indica) yang berwarna cerah.Sedangkan yang bergerak bebas adalah Nereis virens, Marphysa sanguinea, Eunice viridis(cacing palolo), dan Lysidice oele (cacing wawo).

Oligochaeta
Oligochaeta (dalam bahasa yunani, oligo = sedikit, chaetae = rambut kaku) yang merupakan annelida berambut sedikit. Oligochaeta tidak memiliki parapodia, namun memiliki seta pada tubuhnya yang bersegmen. Contoh Oligochaeta yang paling terkenal adalah cacing tanah.Jenis cacing tanah antara lain adalah cacing tanah Amerika (Lumbricus terrestris), cacing tanah Asia (Pheretima), cacing merah (Tubifex), dan cacing tanah raksasa Australia (Digaster longmani). Cacing ini memakan oarganisme hidup yang ada di dalam tanah dengan cara menggali tanah. Kemampuannya yang dapat menggali bermanfaat dalam menggemburkan tanah. Manfaat lain dari cacing ini adalah digunakan untuk bahan kosmetik, obat, dan campuran makan berprotein tinggi bagi hewan ternak.

Hirudinea
Hirudinea merupakan kelas annelida yang jenisnya sedikit. Hewan ini tidak memiliki arapodium maupun seta pada segmen tubuhnya. Panjang Hirudinea bervariasi dari 1 – 30 cm. Tubuhnya pipih dengan ujung anterior dan posterior yang meruncing. Pada anterior dan posterior terdapat alat pengisap yang digunakan untuk menempel dan bergerak. Sebagian besar Hirudinea adalah hewan ektoparasit pada permukaan tubuh inangnya. Inangnya adalah vertebrata dan termasuk manusia. Hirudinea parasit hidup denga mengisap darah inangnya, sedangkan Hirudinea bebas hidup dengan memangsa invertebrata kecil seperti siput. Contoh Hirudinea parasit adalah Haemadipsa (pacet) dan hirudo (lintah).

Saat merobek atau membuat lubang, lintah mengeluarkan zat anestetik (penghilang sakit), sehingga korbannya tidak akan menyadari adanya gigitan. Setelah ada lubang, lintah akan mengeluarkan zat anti pembekuan darah yaitu hirudin. Dengan zat tersebut lintah dapat mengisap darah sebanyak mungkin.

E. Kelompok binatang yang menempel atau melekatkan diri pada butiran pasir, seperti filum bryozoa dan klas tunicata (ascidiacea)

Ascidiacea
Ascidiacea (umumnya dikenal sebagai ascidia) adalah sebuah kelas di subphylum Urochordata. Ascidia dicirikan oleh kulit luar "jubah" terbuat dari tunicin polisakarida, dibandingkan dengan tunicates lain yang kurang kaku.

Anatomi 
Bulat atau silinder mulai dari sekitar 0,5-10 sentimeter.Salah satu ujung tubuh selalu kuat tetap ke batu, karang, atau permukaan padat semacam itu. Permukaan bawah diadu atau bergerigi, dan dalam beberapa spesies memiliki ekstensi akar-seperti yang membantu cengkeraman hewan ke permukaan. Dinding tubuhnya ditutupi oleh tunik tebal halus, yang sering sangat kaku. tunik ini terdiri dari suatu zat selulosa seperti disebut tunicin bersama dengan protein dan garam kalsium. Tidak seperti cangkang moluska, tunik yang terdiri dari jaringan hidup, dan seringkali memiliki suplai darah sendiri. Dalam beberapa spesies kolonial, tunik individu yang berdekatan menyatu menjadi struktur tunggal.Permukaan atas binatang itu, berlawanan dengan bagian mencengkeram substratum, memiliki dua bukaan, atau sifon. Ketika dikeluarkan dari air, binatang itu sering keras mengusir air dari sifon, maka nama umum dari "Kuper laut". Daerah faring berisi kerongkongan, sementara perut sebagian besar berisi organ-organ tubuh lainnya, dan postabdomen berisi jantung dan organ reproduksi.

Sistem pencernaan
Faring Bentuk bagian pertama dari sistem pencernaan. endostyle menghasilkan pasokan dari lendir yang kemudian diteruskan ke dalam sisa pharynx oleh flagela sepanjang detak margin-nya. Lendir kemudian mengalir di selebaran di permukaan kerongkongan, menjebak partikel makanan planktonik, ketika mereka melalui stigmata, dan dikumpulkan di tonjolan pada permukaan dorsal. punggungan tersebut dikenakan alur sepanjang satu sisi, yang melewati bawah makanan dikumpulkan dan ke dalam lubang esofagus di dasar faring. esofagus yang berjalan ke bawah ke perut di perut, yang mengeluarkan enzim yang mencerna makanan. Sebuah usus berjalan ke atas dari perut paralel ke kerongkongan dan akhirnya terbuka, melalui rektum pendek dan anus, ke kloaka hanya di bawah atrium menyedot. Dalam beberapa spesies kolonial sangat maju, kelompok-kelompok individu dapat berbagi kloaka tunggal, dengan semua sifon atrium membuka ke dalamnya, meskipun sifon bukal semua tetap terpisah. Serangkaian kelenjar berbaring di permukaan luar dari usus, membuka melalui pengumpulan tubulus ke dalam perut, walaupun fungsi tepat mereka tidak jelas.

Sistem peredaran darah
Jantung adalah tabung berotot melengkung berbaring di postabdomen, atau dekat dengan perut.Setiap akhir membuka ke kapal tunggal, satu berlari ke endostyle, dan yang lainnya ke permukaan dorsal pharynx.  Tambahan sinus lari dari bahwa pada permukaan dorsal, penyediaan darah ke organ viseral, dan kapal kecil sering berjalan dari kedua sisi ke tunik. limbah nitrogen, dalam bentuk amonia, yang dikeluarkan langsung dari darah melalui dinding kerongkongan, dan dikeluarkan melalui menyedot atrium.

Ada dua area rangsang, satu di setiap akhir hati, dengan satu pertama yang dominan, untuk mendorong darah melalui pembuluh perut, dan kemudian yang lain, mendorongnya bagian punggung. Ada empat jenis sel darah: limfosit, amoebocytes fagositosis, nephrocytes dan sel-sel morula. nephrocytes mengumpulkan bahan limbah seperti asam urat dan terakumulasi dalam ginjal vesikula dekat dengan saluran pencernaan.  Sel-sel morula membantu untuk membentuk tunik, dan sering bisa ditemukan dalam substansi tunik sendiri. Dalam beberapa spesies, sel-sel morula reduktor memiliki pigmen yang mengandung besi (hemoglobin), memberikan darah warna merah, atau vanadium (hemovanadin) memberikan warna hijau.

Susunan saraf
Sistem saraf pusat Ascidian terbentuk dari sebuah piring yang gulung hingga membentuk tabung saraf. Jumlah sel-sel dalam sistem saraf pusat sangat kecil. Tabung saraf terdiri dari vesikel indra, leher, ganglion visceral atau ekor, dan tali saraf ekor. Anteroposterior regionalisasi tabung saraf di ascidia dapat dibandingkan dengan yang di vertebrata. Meskipun tidak ada otak benar, ganglion terbesar terletak dalam jaringan ikat antara kedua sifon, dan mengirimkan saraf seluruh tubuh. Di bawah ganglion ini terletak sebuah kelenjar eksokrin yang bermuara pharynx. Kelenjar tersebut terbentuk dari tabung saraf, dan karena itu homolog pada sumsum tulang belakang vertebrata.

F. Filum echinodermata, yaitu kelas asteroidean, echinoidea, ophiuroidea, crinoidea, dan holoturoidea

Asteroida

 Klasifikasi ilmiah
Kerajaan          :Animalia
Filum                 :Echinodermata
Subphylum    : Asterozoa
Kelas                : Asteroidea

Ciri-ciri:
  • Cara makan: filter feeders
  • Kebanyakan spesies dioecious, beberapa spesies bintang laut juga berkembang biak secara aseksual dengan fragmentasi, sering dengan bagian dari lengan menjadi terpisah dan akhirnya berkembang menjadi individu

Echinoidae

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan          : Animalia
Filum                 : Echinodermata
Subphylum     : Echinozoa
Kelas                  : Echinoidea

Ciri-ciri :
Bulat dan berduri, biasanya 3-10 cm (1,2-3,9 dalam) di seluruh. warna umum hitam dan kusam hijau, zaitun, cokelat, ungu, dan merah. Mereka bergerak perlahan-lahan, pada umumnya makan alga.

G. Filum cnidaria

kata Cnidaria berasal dari bahasa Yunani "cnidos" yang berarti "jarum penyengat".

Ciri tubuh
  • Ukuran dan bentuk tubuhUkuran tubuh Coelenterata beraneka ragam. Ada yang penjangnya beberapa milimeter, misal Hydra dan ada yang mencapai diameter 2 m, misalnya Cyanea. Tubuh Coelenterata simetris radial dengan bentuk berupa medusa atau polip. Medusa berbentuk seperti lonceng atau payung yang dikelilingi oleh “lengan-lengan” (tentakel). Polip berbentuk seperti tabung atau seperti medusa yang memanjang.
  • Struktur dan fungsi tubuhMerupakan hewan diploblastik karena tubuhnya memiliki dua lapisan sel, yaitu ektoderm (epidermis) dan endoderm (lapisan dalam atau gastrodermis) .Ektoderm berfungsi sebagai pelindung sedang endoderm berfungsi untuk pencernaan.
    Sel-sel gastrodermis berbatasan dengan coelenteron atau gastrosol. Gastrosol adalah pencernaan yang berbentuk kantong. Makanan yang masuk ke dalam gastrosol akan dicerna dengan bantuan enzim yang dikeluarkan oleh sel-sel gastrodermis. Pencernaan di dalam gastrosol disebut sebagai pencernaan ekstraseluler. Hasil pencernaan dalam gasrosol akan ditelan oleh sel-sel gastrodermis untuk kemudian dicerna lebih lanjut dalam vakuola makanan. Pencernaan di dalam sel gastrodermis disebut pencernaan intraseluler. Sari makanan kemudian diedarkan ke bagian tubuh lainnya secara difusi. Begitu pula untuk pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida secara difusi.
    Sistem saraf berupa sistem saraf sederhana yang tersebar benrbentuk jala yang berfungsi mengendalikan gerakan dalam merespon rangsangan. Sistem saraf terdapat pada mesoglea. Mesoglea adalah lapisan bukan sel yang terdapat diantara lapisan epidermis dan gastrodermis. Gastrodermis tersusun dari bahan gelatin.
    Tubuh Coelenterata yang berbentuk polip, terdiri dari bagian kaki, tubuh, dan mulut. Mulut dikelilingi oleh tentakel. Coelenterata yang berbetuk medusa tidak memiliki bagian kaki. Mulut berfungsi untuk menelan makanan dan mengeluarkan sisa makanankarena Coelenterata tidak memiliki anus. Tentakel berfungsi untuk menangkap mangsa dan memasukan makanan ke dalam mulut. Pada permukaan tentakel terdapat sel-sel yang disebut knidosit (knidosista) atau knidoblas. Setiap knidosit mengandung kapsul penyengat yang disebut nematokis (nematosista).

  • Cara hidupHidup bebas secara heterotrof dengan memangsa plankton dan hewan kecil di air. Mangsa menempel pada knodosit dan ditangkap oleh tentakel untuk dimasukkan kedalam mulut. seluruhnya hidup di air, baik di laut maupun di air tawar.Sebagaian besar hidup dilaut secara soliter atau berkoloni. Ada yang melekat pada bebatuan atau benda lain di dasar perairan dan tidak dapat berpindah untuk bentuk polip, sedangkan bentuk medusa dapat bergerak bebas melayang di air.

  • ReproduksiTerjadi secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual dilakukan dengan pembentukan tunas. Pembentukan tunas selalu terjadi pada Coelenterata yang berbentuk polip. Tunas tumbuh di dekat kaki polip dan akan tetap melekat pada tubuh induknya sehingga membentuk koloni. Reproduksi seksual dilakukan dengan pembentukan gamet (ovum dengan sperma). Gamet dihasilakan oleh seluruh Coelenterata bentuk medusa dan beberapa Coelenterata bentuk polip. Contoh Coelenterata berbentuk polip yang membentuk gamet adalah hydra.

BAB IV
ADAPTASI ORGANISME INTERSTITIAL

4.1 Adaptasi ukuran

Adaptasi morfologi yang sangat nyata dari organism interstitial adalah ukuran. Semua organism interstitial sangat kecil. Ukuran tubuh meiofauna interstisial berkisar 0.63–1 mm (63–1.000 Ī¼m). Selain itu, ada organism yang termasuk filum hewan makroskopis, namun yang hidup di ruang interstitial adalah hewan yang berukuran kecil, seperti Leptosynapta minuta, sebangsa teripang yang berukuran 2mm; siput caecum glabrum yang berukuran 2mm; polikaeta Diurodrilus hanya 350 Āµm; hydroid Psammohydra nanna hanya 1mm. tetapi protozoa siliata, pada umumnya berukuran lebih besar daripada siliata yang hidup di lingkungan lain, menjadi lebih pipih dan lebih panjang sehingga memungkinkan baginya untuk hidup di ruang antar butiran yang sempit.

4.2 Adaptasi bentuk tubuh
Kebanyakan organisme meiofauna mempunyai bentuk tubuh memanjang atau seperti plat, dan ada juga berbentuk silinder. Umumnya meiofauna melakukan pelangsingan tubuh dan meningkatkan fleksibilitas tubuh. Bentuk tubuh seperti flat, organisme meiofauna dapat melekatkan dirinya pada ruang yang sempit pada butiran sedimen. Adaptasi ini agar meiofauna dapat tetap tinggal dalam ruang sedimen yang sempit, sehingga terbebas dari pengaruh selama proses suspensi kembali (resuspensi) ke atas. Dalam lingkungan sedimen yang gelap, meiofauna melakukan adaptasi dengan mereduksi mata dan pigmen tubuhnya (Webber & Thurman 1991; Nybakken & Bertness 2005; Castro & Huber 2007).

4.3 Adaptasi fisiologis
Adaptasi fisiologi terhadap kandungan oksigen yang rendah adalah dengan cara: 1) mengurangi (mereduksi) aktivitas dan metabolisme, 2) mengembangkan pigmen darah dengan mengikat oksigen yang sangat tinggi, dan 3) respirasi anaerob dengan menghasilkan dan mengeluarkan hasil akhir pernafasan. Kondisi lingkungan bentik yang kurang oksigen ini berkaitan dengan keberadaan senyawa sulfida (H2S) dalam sedimen (Wetzel et al. 2002).Terkait dengan adaptasi meiofauna pada sedimen yang mengandung H2S dengan kondisi oksigen yang rendah, maka meiofauna mempunyai hubungan simbiotik yang berkembang sehingga dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut. Meiofauna yang toleran terhadap H2S dan mampu hidup pada kadar oksigen yang rendah atau miskin oksigen disebut dengan thiobios. Beberapa meiofauna yang mampu hidup pada kondisi yang demikian adalah Nematoda, Ciliata, Platyhelminthes, Gnathostomulida, Gastrotricha, Oligochaeta dan Aschelmintes (Heip et al. 1985; Giere 1993; Coull 1999).

4.4 Penyederhanaan system dan organ tubuh
Bersamaan dengan tubuhnya yang kecil, terjadi juga penyederhanaan system organ tubuh pada binatang metazoa interstitial. sebagai contoh perlengkapan faring yang kompleks yang terdapat pada polikaeta seringkali menghilang, begitu juga dengan insang parapoidia, dan ginjal. Jumlah tentakel hydroid interstitial lebih sedikkit daripada hydroid yang hidup di lingkungan lain.

4.5 Pengembangan alat penguat dinding tubuh
Untuk melindungi tubuh dari benturan pada saat butiran pasir saling bertubrukan, beberapa organism interstitial mengembangkan berbaai tipe alat untuk memperkuat dinding tubuh. Kerangka spikula ditemukan pada siliata, misalnya Remanella, cacing pipih turbelaria misalnya Acanthomacrostomum spiculiferum, serta moluska akoklidiasea Rhodope dan Hedylopsis. Gastrotricha memiliki perisai sisik, sedangkan nematode mengandalkan kutikula yang tebal dan berat. Binatang yang lembut dan tidak memiliki perisai pelindung mengembangkan kemampuan dapat cepat memperpanjang atau memperpendek tubuh dan memungkinkannya menghindari himpitan.

4.6 Respon terhadap kebutuhan
Organisme interstitial selalu melindungi diri dengan baik dari kekeringan di pantai yang berpasir lebih halus daripada pantai yang berpasir kasar/ kerikil. Salah satu bentuk adaptasinya adalah dengan membuat lubang ke dalam substrat.

Keuntungan melakukan adaptasi ini adalah pertama, merupakan peluang untuk berhubungan dengan air interstitial yang mempunyai variasi salinitas dan suhu relatif kecil daripada air di atasnya, karena terbatasnya kemampuan pengaturan osmosis dari fauna tersebut. Kedua, lebih kecilnya kemungkinan fauna tersebut dimakan oleh pemangsa yang hidup di permukaan substrat atau di air (Nybaken, 1988).

4.7 Adaptasi dalam perkembangbiakan
Meiofauna interstisial permanen memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil, sehingga gamet yang dihasilkannya pada suatu waktu terbatas jumlahnya. Produksi telur yang dihasilkan meiofauna hampir selalu kurang dari 100 per individu dan biasanya antara satu dan sepuluh telur (Nybakken & Bertness 2005). Karena jumlah telur yang dihasilkan sangat sedikit, maka suatu genus tak boleh kehilangan banyak telur agar dapat menghasilkan generasi penerusnya. Untuk dapat menjamin kelangsungan hidup generasinya, maka meiofauna telah mempunyai berbagai strategi adaptasi, yaitu: 1) adaptasi yang menjamin terjadinya fertilisasi dengan cara: (i) berkopulasi, dalam hal ini terjadi pemindahan sperma langsung kepada meiofauna betina (misalnya pada Copepoda harpacticoid), (ii) membungkus semua sperma dalam satu unit spermatophora dan melekatkannya pada meiofauna betina, dengan demikian tersedia sperma untuk membuahi telur yang dikeluarkan (misalnya pada Polychaeta), dan (iii) genus meiofauna yang bersifat hermafrodit memiliki sistem jantan dan betina, sehingga dapat menjamin fertilisasi (misalnya Gastrotricha dan Polychaeta); dan 2) adaptasi pemeliharaan telur dan perlindungan anak-anaknya.

Selain itu, strategi adaptasi yang dikembangkan oleh meiofauna adalah melengkapi perekat pada telur yang dikeluarkannya sehingga dengan cepat menempel pada substrat atau terbungkus dalam kokon yang mudah melekat. Ketika telur menetas mengeluarkan larva, maka larva tersebut tetap berada pada ruangan antarbutiran sedimen karena larva yang dihasilkannya tidak bersifat planktonik (Nybakken & Bertness 2005).

4.8 Adaptasi Perilaku (Behavior)
Perilaku migrasi juga dapat diperlihatkan oleh meiofauna. Dalam beberapa kasus, genus meiofauna lebih atau kurang mengandalkan transpor pasif oleh arus pasang. Ketika munculnya pasang, meiofauna akan ditranspor secara pasif walaupun meiofauna bergerak dengan pelan-pelan pada permukaan sedimen.

Beberapa genus meiofauna dapat beradaptasi untuk menghadapi pengaruh arus pasang, yaitu dengan mengembangkan mekanisme organ renang. Bagi meiofauna yang dapat berenang secara aktif dapat melakukan migrasi ke kolom air. Pada fase muda, meiofauna berenang secara aktif ke lapisan air di atasnya dan disebarkan ke laut oleh arus. Sementara itu, meiofauna fase dewasa cenderung berada dekat dasar dan kemudian disebarkan kembali oleh arus. Meiofauna yang terbawa oleh arus pasang tersebut akan mengembangkan adaptasi perilaku untuk membuat dan menempati habitat yang baru (McLusky & McIntyre 1988).

Meiofauna dapat beradaptasi terhadap perubahan musim. Pada musim dingin di daerah mangrove, ketika bahan organik terakumulasi ke dalam sedimen, genus meiofauna dari family Chromadoridae (taksa Nematoda) tetap berada di dalam sedimen. Meiofauna ini dapat beradaptasi terhadap kondisi lingkungan sedimen yang sangat dingin. Pada musim panas, mereka bermunculan kembali untuk membentuk koloni yang baru. Strategi adaptasi perilaku meiofauna terhadap perubahan musim dari famili Chromadoridae ini berbeda dengan famili Monhystiridae yang hanya tercatat pada waktu pertumbuhan alga mencapai puncaknya, dan fauna ini berasosiasi dengan proses dekomposisi makrofita (Jensen 1984, diacu dalam Gwyther & Fairweather 2002). Kehadirannya pada musim ini menggambarkan peranannya dalam proses dekomposisi dengan memangsa bakteri (Villano & Warwick 1995; Gwyther & Fairweather 2002).





Powered by Blogger.